Jumat, 01 April 2016

Konservasi ekosistem mangrove muara sungai Bogowonto berbasis komunitas.

Mangrove merupakan salah satu jenis tanaman yang berada pada wilayah yang memiliki pasang surut air laut. Seperti halnya kawasan pesisir, yang merupakan kawasan tempat bertemu antara daratan dengan lautan. Muara sungai merupakan wilayah tempat terjadinya pasang surut air laut, jenis ekosistem muara sungai atau estuary, dimana mangrove adalah salah satu jenis tanaman yang tumbuh dan hidup di ekosistem ini. Wilayah peralihan seperti muara dan pesisir, tanahnya akan cenderung tidak stabil dan mudah tererosi karena terkena terpaan arus air. Oleh karena tempat hidup mangrove yang berada di wilayah mudah terjadi erosi, disinilah fungsi perakaran tanaman mangrove yang pada dasarnya setiap tanaman membutuhkan media untuk tumbuh sehingga ketika terjadi penggerusan lahan oleh arus air, akar mangrove akan dapat mengurangi laju erosinya. Selain sebagai pengurang laju erosi, ekosistem mangrove berfungsi sebagai tempat pemijahan ikan.
Sungai Bogowonto merupakan salah satu sungai yang melewati Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sungai Bogowonto merupakan batas alam yang memisahkan antara Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan  Provinsi Jawa Tengah. Di muara sungai ini terdapat kenampakan ekosistem mangrove asli, dimana keberadaannya bukan karena disengaja ditanam oleh manusia. Tanaman mangrove asli yang berada di wilayah muara Sungai Bogowonto ini adalah jenis Avicennia alba. atau yang sering disebut masyarakat sekitar dengan istilah api–api. Tanaman mangrove jenis ini merupakan tanaman mangrove yang tumbuh zonasi terluar atau zona yang masih terpengaruh oleh pasang surut air laut dengan jenis tanah lumpur karena sering tergenang air laut saat pasang.


gambar tanaman mangrove jenis Avicennia alba atau Api-api

 Selain jenis api – api, jenis tanaman yang ada di sepanjang Sungai Bogowonto yang mendekati muara adalah Rhizopora mucronata. dan Burgueira gymnorrhiza. tetapi kedua jenis tanaman ini merupakan tanaman yang sengaja ditanam oleh masyarakat di wilayah sempadan Sungai Bogowonto. Kedua tanaman ini juga masih termasuk dalam tanaman pada zonasi terluar atau yang sering terkena pasang surut.

Gbr Tanaman mangrove jenis Burgueira gymnorrhiza yang terdapat di estuary sungai Bogowonto. (Dok. Pribadi)


Masyarakat disepanjang sempadan sungai Bogowonto ini sebagian besar bermatapencaharian sebagai petani. Adapun jenis pertanian yang ada di sempadan timur Sungai Bogowonto ini adalah pertanian lahan kering dan budidaya tambak udang. Dorongan kebutuhan akan lahan pertanian inilah yang akhirnya menjadi penyebab pada awal tahun 1980 an tanaman mangrove terutama yang jenis asli mulai ditebang oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena masyarakat tidak mengetahui secara detail kegunaan dari tanaman mangrove tersebut. Terlebih tanaman asli jenis api-api memiliki akar nafas yang meluas sehingga bagi masyarakat dengan adanya tanaman ini akan mengurangi lahan yang dapat dimanfaatkan untuk digunakan sebagai lahan pertanian.
Dampak tidak adanya pengikat material lahan adalah laju erosi yang tinggi. Hal inilah yang mulai dirasakan masyarakat yang tinggal di sempandan timur sungai Bogowonto. Oleh karena itu diperlukan kegiatan untuk melindungi dan melestarikan tanaman yang pernah ditebang oleh masyarakat disekitarnya. Konservasi tanaman mangrove di sempadan Sungai Bogowonto sudah beberapa kali dilakukan dengan melibatkan berbagai pihak. Seperti pada tahun 2012, instansi pemerintah yang seperti Dinas Kelautan, Perikanan, dan Perternakan Kabupaten KulonProgo telah melakukan kegiatan penanaman tanaman mangrove jenis Rhizopora mucronata. Kegiatan penanaman yang dilakukan mengalami kegagalan dikarenakan kurangnya perencanaan dan pengenalan waktu tanam. Waktu tanam dilakukan pada saat arus laut tinggi dan deras sehingga sebagian besar bibit yang ditanam hanyut dan mati.
Dengan pengalaman tersebut, masyarakat diajak untuk merencanakan kegiatan pelestarian tanaman mangrove khususnya di ekosistem estuary muara dan sempandan Sungai Bogowonto. Adapun tahapan kegiatan pelestarian atau konservasi yang dilakukan dengan masyarakat adalah pembibitan, penanaman, dan monitoring. Untuk dapat memelihara tanaman asli yang tumbuh dari lingkungan sempadan Sungai Bogowonto, masyarakat diajak untuk mengambil propagul (buah mangrove) dari tanaman yang telah ada di sepanjang Sungai Bogowonto. Agar lebih mudah untuk tumbuh menjadi bibit, buah mangrove yang telah diambil, disemaikan sehingga pada umur sekitar 3-6 bulan buah telah menjadi bibit yang telah memiliki akar dan daun yang siap tanam. Hal ini perlu dilakukan karena dengan menanam bibit yang telah memiliki akar akan lebih kuat.




Penanaman yang dilakukan juga harus dilakukan dengan perencanaan yang tepat, tentang waktu menanam dan teknik yang sesuai dengan keadaan area penanaman. Pada area ini, masyarakat memilih teknik pelindung tanaman yang kuat dengan sistem anyaman bambu yang dengan tiang yang ditanam kedalam tanah mencapai 2 meter. Dengan metode ini, menurut warga masyarakat dapat mengurangi kekuatan arus air tetapi tetap dapat memberikan rongga untuk keluar masuk air sehingga tanaman tetap mengalami pasang surut.
Proses lanjutan setelah penanaman yang diperlukan adalah memonitoring hasil kegiatan penanaman. Mencari bibit yang mati di wilayah penanaman dan untuk selanjutnya disulam atau ditanami kembali dengan bibit yang baru. Proses ini diperkenalkan ke masyarakat agar untuk selanjutnya, masyarakat dapat mengelola kegiatan konservasi ekosistem mangrove secara mandiri. Dengan proses kemandirian ini juga diharapkan kegiatan konservasi yang dilakukan dapat lebih efisien dan berkelanjutan. Ditambah lagi, dengan berbagai proses yang dilakukan secara mandiri seperti ini akan menumbuhkan rasa kepemilikan akan tanaman mangrove yang telah mereka rencanakan, tanam, dan rawat sendiri.


dimuat dalam bulletin konservasi BKSDA Yogyakarta