berada di lingkungan yang ber"level" menengah ke atas sejak menghirup udara untuk pertama kalinya di bumi sampai meniup lilin berbentuk angka 22 membuat otak nakal saya menerawang jauh ke lingkungan berlevel lain.
sebagai geograf yang expert ilmu pengelompokan, saya membagi tipe level lingkungan menjadi empat kelompok.
1. level bawah
2. level menengah kebawah
3. level menengah keatas
4. level hedonis
okey, pertama, level bawah.
saya tidak terlalu susah ternyata untuk bisa berandai-andai atau berpola pikir seperti orang-orang pada level ini.
saat itu saya sedang menjalani praktek uji sim A. karena dalam kelompok ujian ini saya satu-satu nya wanita yang ada, oleh pak polisi penguji yang notabene juga bukan wanita, meskipun saya peserta yang datang di urutan antrean nomor 3 tetapi saya dipanggil untuk urutan kedua praktek uji mengemudi. sehingga saya mempunyai banyak waktu untuk menunggu hasil ujian yang jelas sudah dapat sitebak kegagalannya. panas, karena saat itu ujian dilakukan pada tepat pukul 12.00 di tengah lapangan. otomatis pohon rindang di tepi selokan menjadi tempat favorit semua peserta untuk menunggu. dan karena saya satu-satunya perempuan, saya merasa kurang nyaman membaur dengan para bapak-bapak yang lain.
jadilah saya duduk agak jauh dari mereka. tak berapa lama, seorang bapak entah darimana asalnya duduk disebelah saya. dia mulai menceritakan pengamatannya terhadap semua peserta yang melakukan ujian saat itu, termasuk saya. ajaib, bahkan saya tidak tahu kapan bapak ini datang dan memperhatikan saya. bodohnya saya, saya menenyakan apa pekerjaannya, dan seperti disambar petir, dia seorang peminta-minta. dia bercerita setiap harinya hanya berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa tahu apa nama daerahnya. tak punya tempat tinggal. tak ada perencanaan, apa yang didapat hari ini hanya untuk hidup hari ini. tak ada keluarga, aspal, kaus, celana
pendek dan topi itulah keluarganya. pengeluarannya tak banyak, hanya 4000 rupiah per hari, karena itu yang di dapat dan itu sudah bisa membuatnya mengucap syukur meakipun hanya dengan sendawa. hanya keluarganya, makan, dan berpindah yang ia tahu, karena itulah sandang, pangan, dan papan.nya.
kedua, menengah kebawah.
mungkin untuk dua level yang berdekatan dengan lingkungan level saya, sangat mudah menemukannya karena tidak ada jarak yang berarti. okey, karena tidak terlalu sulit bertemu orang pada level ini maka tidak terlalu rumit juga berandai-andainya. standar, satu kata yang saya rasa cocok untuk level ini. dibandingkan dengan level sebelumnya, orang pada level ini lebih bisa berencana. tipe pemenuhan kebutuhan yang sesuai yang mereka tahu dan sepanjang
bisa mereka jangkau. miris ketika kejadian ini lewat tanpa permisi ke otak saya. pada suatu hari, penat, bosan, dan lapar sedang bersekongkol untuk berduel dengan fisik saya. pusat perbelanjaan yang berada tak jauh dari kampus merupakan sistem pertahanan yang sebenarnya sudah dapat dikenali oleh ketiga musuh diatas. saya memutuskan untuk membunuh suara keroncongan dari perut saya dengan menuju ke salah satu restoran fastfood yang sangat dicintai oleh para mahasiswa perantau saat jam 15.00-17.00. karena ramai, saya harus dapat meja bersebelahan dengan meja yang berpenghuni penuh. ada dua meja dan empat kursi, hanya ada sepiring nasi ayam dan minuman untuk anak perempuan berambut keriting dan pipi yang lembab. perempuan diseberangnya yang jauh lebih tua dengan dandanan santai dan disebelah anak kecil itu seorang lelaki dengan baju yang sama santainya.
satu, dua, sampai sepuluh detik keadaaan di meja itu sangat hening,
tetapi anak lucu itu tetap makan dengan lahapnya. lalu ibunya mulai
mengeluarkan suara berisik di telinga saya.
omelannya, bahwa makan di tempat ini sangat mahal dan sangat tidak terjangkau. belum lagi untuk ukuran anaknya yang tidak berprastasi di sekolah. tempat itu bukan tempat murah, untuk pergi dan menikmati waktu di tempat itu harus dengan perjuangan yang berarti, dan defisit
besar jika harus menuruti air mata anaknya yang merengek minta
merasakan makanan di tempat ini. seakan merasakan makanan terenak yang pernah di dapatnya, anak ini sampai tak menggubris apa yang diocehkan ibunya. dan saya sampai tak selera untuk menghabiskan setangkup roti lonjong penuh isi. dengan segera memanggil cleaning service yang kebetulan lewat disebelah saya dan berkata "mas, saya minta tolong, ini dibungkus yah, makasih"
saya masih ingat ketika mama saya menjanjikan makanan serupa apabila saya bisa memperbaiki nilai matematika yang sedang merah saat itu. padahal pada saat itu untuk bisa menuju ke tempat itu sangat membutuhkan perjuangan untuk menembus terik matahari dan beratnya setang motor mengendarai motor dengan bobot anak perempuannya. tetapi saya ingat betul, mama tidak pernah mengungkit-ungkit masalah harga tinggi untuk mendapatkannya. meskipun, hanya ALLOH yang tahu apakah sebenarnya mama merasakan defisit besar atau tidak saat itu.
saya tidak akan menceritakan lingkungan yang saya miliki.
karena saking bosannya. alasan inilah yang mendasari keinginan kuat
untuk menulis tentang pelevelan ini.
level hedonis. mereka memiliki segala sesuatu yang bisa debeli dengan uang. tetapi itulah harga yang harus dibayar karena mereka berfikir keras untuk selalu menjaga kelestarian dan keberlangsungan harta mereka.
belajar memahami, mengerti, dan mencoba memposisikan diri seperti
orang lain merupakan salah satu cara ampuh mensyukuri hidup ini. bukankah menjadi orang yang selalu seperti ini juga sekaligus belajar
untuk mengikis keegoisan diri yang ingin selalu diapresiasi, dimengerti, dan dipahami sementara tak mau tahu atau masa bodoh dengan yang lain.
dengan melihat kebawah kita bisa bersyukur dan dengan melihat keatas kita bisa mendapatkan pemacu hidup untuk terus berusaha dan berdoa.